Tampilkan postingan dengan label Pangan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pangan. Tampilkan semua postingan

Lahan Pertanian dan Swasembada Pangan

Sektor pertanian memiliki potensi yang besar bagi pembangunan. Untuk mewujudkan keberhasilan di sektor ini, berbagai upaya dan strategi pun dilakukan, baik di sisi para petani maupun dari segi regulasi.

Namun, yang tak boleh diabaikan adalah kualitas lahan pertanian yang mutlak menjadi fondasi keberhasilan berbagai usaha pertanian. Sebab, hasil pertanian yang produktif selalu berawal dari lahan yang subur. Lahan pertanian merupakan objek vital ketika mengemban visi swasembada pangan Indonesia.

Lahan Pertanian dan Swasembada Pangan

Dalam perkembangan, di beberapa negara berkembang, pertanian terus dikembangkan dengan cara-cara modern seiring perkembangan sains dan teknologi di bidang pertanian. Di sana, ada peralihan yang dahsyat dari pola bercocok tanam yang bersifat tradisional ke pertanian modern. Sejalan dengan itu, fokus perhatian pegiat usaha tani diharapkan tidak hanya tertuju pada hasil pertanian. tetapi juga pada peningkatan kualitas lahan pertanian.

Lahan Pertanian-Terjebak Dilema

Arah gerak pertanian modern ternyata telah menghasilkan dilema di sektor pertanian. Di satu sisi, pertanian modern memudahkan petani untuk mengolah pertanian secara lebih cepat dan mudah, namun di sisi lain lahan rusak akibat tak berjalan seimbangnya penggunaan lahan dan konservasi lahan. Dalam konteks pengolahan lahan pertanian, ketidakseimbangan itu terlihat dari upaya peningkatan hasil pertanian dengan menggunakan pestisida secara berlebihan tanpa diikuti konservasi lahan pertanian pasca panen.

Hal itu menggambarkan potret pertanian modern yang hanya mementingkan hasil secara cepat, tanpa mempertimbangkan kepentingan terjaganya ekosistem lahan pertanian. Dalam kondisi seperti itu, ruang konservasi menjadi penting untuk dihadirkan dalam setiap usaha pertanian. Konservasi lahan pasca panen menjamin kelangsungan usaha pertanian; terjaganya kesuburan tanah (pemulihan humus tanah yang telah terkuras selama proses tanam sebelumnya) dan memperbaiki struktur tanah yang rusak.

Konservasi tanah adalah serangkaian strategi pengaturan untuk mencegah erosi tanah dari permukaan bumi atau perubahan yang terjadi secara kimiawi atau biologis akibat penggunaan pestisida yang berlebihan, salinisasi, pengasaman, atau akibat kontaminasi lainnya.

Dimulai Dari Menghargai Tanah

Mendefinisikan tanah tentu tak bisa menggunakan pendekatan ekonomi semata. Dalam pendekatan ekonomi, tanah akan didefinisikan sebagai komoditi atau asset ekonomi yang dapat diperdagangkan untuk mencapai keuntungan. Tanah menjadi barang dagangan yang bisa dijual atau dieksploitasi kapan saja untuk keuntungan pribadi. Eksploitasi sumber daya alam yang masih marak dilakukan pun berbuah kehancuran. Tidak hanya tanah, tetapi juga air, hutan, dan ekosistem lainnya juga turut hancur.

Di Indonesia, kerusakan lingkungan hidup yang cukup besar terjadi di berbagai daerah. Rata-rata, penyebabnya adalah masuknya industri pertambangan ekstraktif yang telah mengeksplorasi sumber daya alam di daerah itu. Hasilnya, lahan-lahan menjadi gundul, sumber air menjadi kering, sawah mengering, bahkan penyakit yang didera manusia pun terjadi. Tetapi, jauh lebih dalam dari itu, substansi urusan tanah adalah sejauh mana manusia menghargai tanah sebagai bagian dari hidup dan kehidupanya?

Dorongan untuk mempertahankan tanah dapat dilihat dari dua aspek; pertama, makna tanah bagi manusia, kedua, relasi orang dengan tanah. Kedua aspek itu saling berhubungan, bahkan kadang-kadang menyatu. Kedalaman relasi orang dengan tanah memberikan makna dan nilai tersendiri. Semakin bermakna dan bernilai relasi itu, semakin orang may mempertahankan apa yang membuat makna dan nilai itu.

Makna tanah bagi manusia, berkaitan dengan; bahwa tanah merupakan tempat dimana manusia berada dan hidup. Baik langsung maupun tidak, manusia hidup dari tanah. Bahkan bagi mereka yang hidup bukan dari tanah pertanian, tanah tetap penting dan dibutukan sekurang-kurangnya sebagai tempat tinggal. tanah menjadi tempat usaha, sarana perhubungan dan juga tempat peribadatan. Ini berarti bahwa makna tanah tidak hanya sekedar diiliki (to have), tetapi juga menyangkut peghayatan hidupnya (to be).

Hubungan manusia dengan tanah dapat dilukiskan dalam gambaran bahwa, tanah merupakan sawah/ladang garapan. Tanah digarap untuk menghasilkan barang-barang kebutuhan hidup manusia. bagi para petani, misalnya, tanah menjadi satu-satunya sumber hidup.

Dalam mitologi Hindu yang kemudian masuk dalam budaya Jawa, dipercaya bahwa Dewi Sri adalah dewi keberuntungan/ kemakmuran yang bersemayam di sawah dan ladang-ladang petani. Dewi Sri membuat tanah menjadi subur sehingga menghasilkan padi yang melimpah. Oleh karena itu, pada musim panen para petani memuliakan Dewi Sri dengan mempersembahkan sesajen. Tanah merupakan tempat di mana manusia hidup dan berada.

Tanah merupakan tempat di mana manusia hidup dan berkembang. Disitu juga terjadi keadilan dan kedamaian. Orang pergi dan pulang ke tempat tinggalnya. Orang merasakan jauh dekatnya dilihat dari titik itu.

Tanah mempunyai makna sebagai kawasan lingkungan hidup bagi manusia. Juga kalau kawasan itu tidak dimilikinya, kawasan lingkungan memperngaruhi dan menentukan gaya hidup orang. Orang- orang yang berbeda dengan orang-orang yang hidup di kawasan pantai.

Tanah juga dimaknai sebagai mata rantai sejarah manusia. Tanah menjadi penghubung antara mereka yang masih hidup dengan mereka yang suda meninggal, karena ada rasa keterikatan dengan leluhur mereka yang telah meninggal. Ikatan ini sangat kuat karena terbentuk lama.

Pemaknaan sosio-kultural manusia atas tanah diatas menggambarkan betapa dalam dan bernilainnya makna tanah bagi manusia. Sehingga, tak jarang, perjuangan sosial menuntut hak atas tanah digalang dan frontal terjadi dimana- mana. Ya, begitulah. Tanah benar-benar menyatu dengan dan dalam sejarah kehidupan manusia.

Swasembada Pangan: Dimulai Dari Lahan

Visi swasembada pangan adalah visi bersama sejak dahulu. Visi itu terbentuk dari kesadaran kolektif akan kekayaan sumber pangan yang dimiliki. Meskipun, untuk mencapai itu, jalan panjang harus kita lewati. Berbagai rintangan harus kita hadapi. Untuk mewujudkan swasembada pangan, diperlukan banyak strategi, dibutuhkan banyak upaya konkrit. Fokus berbagai upaya itu ialah pada sektor pertanian yang dimulai dari lahan pertanian.

Swasembada pangan mengafirmasi pemenuhan kebutuhan, pasokan dan ketersediaan pangan. Dukungan utama demi terwujudnya swasembada adalah produktivitas pertanian yang mantap dan berkelanjutan. Maka, yang wajib dicapai adalah produktivitas pertanian. Produktivitas pertanian mutlak dimulai dengan persiapan lahan pertanian yang berkualitas, pemilihan benih unggul, perawatan tanaman secara tepat, pemanenan, serta konservasi lahan.

Tanpa mempertimbangkan proses-proses itu, produktivitas pertanian hanya akan terus menjadi proyek-proyek momental tanpa hasil yang jelas.*

Marsel Gunas

Arti Sembako: Sejarah dan Fakta

Sembako: Sembilan bahan kebutuhan pokok. Berdasarkan keputusan menteri no. 115/mpp/kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998, kesembilan bahan pokok itu adalah: Beras, Sagu dan Jagung, Gula pasir, Sayur-sayuran dan Buah-buahan, Daging Sapi dan Ayam serta Ikan, Minyak Goreng dan Margarin, Susu, Telur, Minyak Tanah atau gas elpiji, Garam berIodium dan ber-Natrium.
Arti Sembako: Sejarah dan Fakta

Sembako: Sembilan bahan pokok. Kurang lebih demikian. Jika kembali ke masa- masa di sekolah dasar, kata sembako hampir sering terdengar saat pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial. Saat ujian catur wulan (kini ujian semester), pertanyaan yang muncul di lembaran soal biasanya seputar; “Apa itu sembako?” atau jika gurunya membuat kalimat pertanyaan yang cukup panjang, biasanya muncul redaksi kalimat pertanyaan “Sebutkan jenis-jenis bahan pokok!” Lalu, muncul pertanyaan yang cukup menggelitik, mengapa hanya sembilan? Mengapa bukan sepuluh atau sebelas atau 20 bahan pokok? Mengapa harus sembako: Sembilan bahan pokok?

Sembako: Sembilan Bahan Pokok

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, sembako merupakan akronim dari Sembilan bahan pokok. Berdasarkan keputusan menteri no. 115/mpp/kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998, kesembilan bahan pokok itu adalah: Beras, Sagu dan Jagung, Gula pasir, Sayur-sayuran dan Buah-buahan, Daging Sapi dan Ayam serta Ikan, Minyak Goreng dan Margarin, Susu, Telur, Minyak Tanah atau gas elpiji, Garam berIodium dan ber-Natrium. Lalu, apakah hanya itu yang pantas disebut bahan pokok? Ok. Silahkan mencari bahan- bahan lainya. Namun sebelumya, mari berselancar dengan Sembilan bahan pokok yang telah menjadi pemahaman bersama itu.[1]


1. BERAS, SAGU, dan JAGUNG


BERAS

Dalam bahasa Latin, dikenal dengan istilah oriza yang berasal dari bahasa Yunani oryza. Di Perancis, orang menyebutnya ris, mengadopsi bahasa Italia riso, dalam bahasa Inggris dikenal sebagai rice. Dari beberapa kata yang cukup jadul itu, mari kita tengok suguhan pengertian kata beras versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). KBBI mendefinisikan kata beras begini: “padi yang telah terkelupas kulitnya (yg menjadi nasi setelah ditanak); dan biji-bijian; butir-butiran (seperti jagung, kopi).[2]

Lalu, jika kita berkilas balik soal padi; jenis bahan pangan ini -berdasarkan beberapa catatan yang tersimpan di google- merupakan tanaman dari wilayah Asia. Persisnya di China dan India. Meskipun dalam taxonomi tumbuhan, muncul dua jenis species yang sama-sama merujuk pada tanaman padi; yaitu Oryza sativa dan Oryza glaberrima. Oryza Sativa diidentikan dengan padi Asia dan Oryza Glaberrima merupakan jenis padi Afrika. Lalu, pertanyaannya, di mana pertama kali tanaman padi tumbuh?

Mitos China
Tanaman padi lebih banyak dikenal sebagai tanaman yang tumbuh di wilayah Asia, bukan Eropa, Amerika atau Afrika. Ia pertama kali dikenal di China dan India. Di China, tanaman padi dikenal melalui sebuah mitos yang berkisah tentang seekor anjing yang mendatangi warga di sebuah desa di wilayah utara China. Bulu-bulunya dipenuhi oleh butiran biji berwarna kuning. Orang-orang yang melihatnya tak mengenal biji-bijian itu. Mereka lalu menanamnya dan ternyata membuahkan hasil; padi. Mitos tersebut diamini oleh penemuan sebuah kitab Budha, pada tahun 2500 SM yang mengemukakan bahwa selama akhir periode Neolitik, di lembah Yangtze, beras digunakan sebagai persembahan bagi para Dewa.[3]

Mitos India
Mitos tentang India sedikitnya meyakinkan dunia tentang asal mula tanaman padi. Tanaman padi diklaim berasal dari India, karena mitos orang India tentang Dewi Sri (Dewi Padi). Selain karena mitos tersebut, penemuan tanaman padi juga dikenal karena adanya corak kehidupan bertani peradaban Sungai Shindu dan Sungai Gangga di India.

Kedua mitos ini memang sempat membuat para peneliti tumbuh- tumbuhan terus berusaha untuk menemukan titik sejarah tanaman padi. Pada 1996, sebuah penemuan arkeologi baru kembali membuktikan fakta historis tanaman padi. Penemuan itu membuktikan peradaban di sepanjang Sungai Yangtze di China Tengah yang berusia 11.000 tahun.[4] Penelitian itu juga memberi bukti 125 sampel butir padi dan sekam, serta beras di tembikar, dari situs terletak di sepanjang bagian tertentu dari rata-rata berusia lebih dari 11.000 tahun.

Zat Apa Yang Terkandung Dalam Beras?
Pada umumnya beras memiliki kandungan energi, Karbohidrat, Gula, Serat Pangan, Lemak, Protein, air, Vitamin, Folat, Kalsium, Besi, Magnesium, Mangan, Fosfor, Kalium, Zink. Kandungan- kandungan zat inilah yang menjadikan beras sebagai bahan makanan utama, hampir seluruh penduduk dunia. Meskipun, di beberapa negara, ada kebiasaan menggantikan beras sebagai makanan utama. Misalnya, digantikan dengan gandum, atau sereal lainya.[5]

BERAS, SAGU, dan JAGUNG

SAGU dan JAGUNG

Sagu berasal dari bahasa Jerman Sago dan bahasa Perancis Sagou. Sagu merupakan jenis makanan yang berbentuk tepung yang dihasilkan dari rumbia (pohon sagu). Secara taxonomy, pohon sagu berasal dari kelas Liliopsida, ordo Arecales, family arecaceae dan genus Metroxylon. Sagu memang merupakan tanaman yang banyak dijumpai di wilayah Asia. Sagu digunakan sebagai makanan pengganti nasi karena memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi.

Di Indonesia, sagu banyak dijumpai di Maluku dan di wilayah Papua. Disana, masyarakat sering menjadikan sagu sebagai makanan pengganti nasi kala musim kemarau tiba atau jika lahan persawahan mereka alami gagal panen. Namun, seriring perkembangan kuliner nusantara, sagu banyak diminati sebagai kuliner lokal Maluku atau beberapa wilayah di Papua, yang sering dimakan dengan ikan bakar.[6]

Lalu, bagaimana dengan jagung? Jagung merupakan tanaman serelia yang juga dapat digunakan sebagai pengganti beras (baca: nasi). Pasalnya, jagung memiliki kandungan Kalori, Protein, Lemak, Karbohidrat, Kalsium, Fosfor, Besi, Vitamin dan Air. Terkait dari mana tanaman ini berasal, secara umum para ahli sependapat bahwa jagung berasal dari Amerika Tengah atau Amerika Selatan.

Jagung secara historis terkait erat dengan suku Indian, yang telah menjadikan jagung sebagai bahan makanan sejak 10.000 tahun yang lalu.[7] Namun, di beberapa kawasan, berbagai catatan mengungkapkan bahwa jagung memiliki sejarahnya masing- masing. Di kawasan Asia, misalnya, jagung disebutkan berasal dari Himalaya. Di Amerika, jagung diduga berasal dari pegunungan Andean, khususnya di Ekuador, Peru dan Bolivia. Ada juga yang meyakini secara umum, bahwa jagung di dunia berasal dari wilayah Amerika Tengah (wilayah Mexico).[8]

2. GULA PASIR

Jika memulai diskusi dengan tema gula pasir, apa yang muncul dalam pikiran kita pertama kali? Manis. Ya, karena gula rasanya manis. Tetapi, paling penting ialah, mengapa gula dimasukkan sebagai salah satu bahan pokok (baca: kebutuhan dasar manusia)?

GULA PASIR

Gula merupakan bahan makanan yang dihasilkan dari tebu (sugar cane). Secara historis, gula memiliki catatan sejarah yang cukup berbeda-beda. Hal ini acapkali tergantung sejarah tumbuhan di masing- masing negara. Versi pertama menyebutkan gula berasal dari India, yaitu ditemukan pertama kali di India, yang ditandai pertama kali oleh adanya temuan terhadap tanaman tebu yang ditanam oleh orang- orang Polinesia dan menyebar ke India.

Pada tahun 510 SM, Kaisar Darius di Persia menginvasi India. Pada masa itu, dia menemukan tanaman yang tegak lurus yang tumbuh di rawa- rawa yang sangat digemari lebah. Tanaman tebu yang menghasilkan gula itu kemudian menyebar kemana-mana usai bangsa Arab menyerang Persia pada tahun 642 M. Kala itu selain mereka menemukan tanaman tebu, mereka juga menemukan cara gula dibuat.[9]

Dari tangan bangsa Arab, gula kemudian masuk ke wilayah Eropa dan Afrika, yang membuat banyak wilayah disana ditanami tebu. Versi kedua, merujuk pada sejarah tebu menyebutkan bahwa pertama kali ditemukan pada tahun 9000 SM di Papua Nugini.

Beberapa pakar juga menemukan bukti bertumbuhnya tanaman tebu dalam lukisan Mesir Kuno pada sekitar 2500 SM. Lukisan itu menggambarkan adanya peternakan dan lebah madu pada zaman Mesir Kuno. Versi ini berasal dari catatan perusahaan produsen gula di Amerika Florida Crystals, yang karena usahanya itu, pada tahun 2006 mendapat sertifikasi Carbonfree®. Florida Crystals dianggap telah melakukan pengolahan gula dari tanaman tebu yang benar- benar alami.[10]]

Kandungan Gula Gula memiliki berbagai kandungan yang bermanfaat bagi kesehatan manusia, antara lain: Energi, Lemak, Karbohidrat, Kalsium, Fosfor, Vitamin. Tentunya, berbagai zat itu telah membuat gula layak dikonsumsi.

3. SAYURAN dan BUAH-BUAHAN

Sayur adalah daun-daunan (seperti sawi), tumbuh-tumbuhan (seperti tauge), polong atau bijian (misalnya kapri, buncis), yg dapat dimasak. Lalu, sayur juga bisa diartikan sebagai masakan yang berkuah (seperti gulai, sup). Itu kata KBBI daring tentang sayur. Dan jika melihat pengertian itu, anda dan saya tentu pernah makan sayur, bukan? Lalu, mengapa dalam kategorisasi sembako, sayuran ditempatkan setara dengan buah-buahan?

Sayuran dan Buah-buahan

Berbagai artikel yang mengungkap tentang sembako memang menuliskan sayuran dan buah- buahan dalam posisi yang sama. Kebanyakan tidak menuliskan alasan mengapa mereka dikelompokan dalam posisi yang sama. Namun, faktanya bahwa dari segi nutrisi yang dikandung kedua kelompok ini rata- rata memiliki kandungan yang nutrisi yang sama.

Atau, kemungkinan lain adalah bahwa ada juga tanaman yang dikategorikan sebagai “buah” juga dikonsumsi sebagai sayuran. Ya, memang. Kalau kita mulai mencari definisi tentang sayuran dan buah-buahan, ada sedikit kerumitan untuk menemukan definisi yang tepat. Tomat dan selada, apel dan stroberi mungkin sangat mudah diidentifikasi sebagai sayuran dan buah-buahan.

Tetapi, bagaimana dengan kentang? Jus buah; apakah bisa disamakan dengan buah? Lalu, bagaimana dengan kacang-kacangan? Terlepas dari tingkat kerumitan itu, yang pasti sayuran dan buah-buahan adalah makanan yang dapat meningkatkan kesehatan manusia.[11]

Di Eropa, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah mengestimasi tingkat konsumsi sayuran dan buah-buahan mencapai lebih dari 400 gram per hari, tidak termasuk kentang dan umbi-umbian, seperti singkong. Itu adalah takaran ideal. Meskipun di berbagai negara, tingkat konsumsi sayuran dan buah- buahannya berbeda- beda.

Di Denmark, misalnya, tingkat konsumsi sayuran dan buah- buahan per hari lebih 600 gram per hari.[12] Sebab, menurut WHO, konsumsi sayur dan buah- buahan memiliki manfaat: untuk menetralisir zat yang masuk ke tubuh karena penggunaan tembakau (merokok) dan alcohol, mencegah tekanan darah tinggi, mengurangi dampak kegemukan dan obesitas, mencegah kolesterol, mengatasi kelelahan, mencegah glukosa darah tinggi, mengurangi resiko kerja yang berlebihan, dan penggunaan obat- obat terlarang.

Ragam manfaat inilah yang kemudian menempatkan buah- buahan dan sayuran pada posisi yang sama sebagai kebutuhan pokok manusia. Bisa dibilang; konsumsi sayuran harus juga diikuti dengan konsumsi buah- buahan.

4. DAGING SAPI, AYAM, dan IKAN

Apakah setiap hari kita mengkonsumsi daging dan ikan? Ah, tentu tidak semua dari kita yang mengkonsumsi daging setiap hari. Mengapa? Tentu karena tidak semua dari kita adalah peternak yang jika sedang ingin makan daging, tinggal menyembelih salah satu hewan peliharaan kita untuk dimakan. Tak semua dari kita juga adalah nelayan atau pembudidaya ikan.

Namun, apakah semua peternak mengkonsumsi daging setiap hari? Atau apakah semua nelayan mengkonsumsi ikan setiap hari? Well, terlepas dari kekonyolan pertanyaan- pertanyaan itu, toh daging sapi, ayam dan ikan telah dimasukkan menjadi salah satu dari 9 bahan pokok yang merupakan kebutuhan harian manusia. Secara umum, daging memiliki kandungan zat yang diperlukan oleh tubuh, antara lain Lemak, Kolesterol, Sodium, Potassium, Karbohidrat, Protein dan Vitamin.[13]

DAGING SAPI, AYAM, dan IKAN

Soal Tradisi?

Kebiasaan makan daging memang telah muncul pada masa lampau, sejak zaman Dewa- Dewi. Hingga kini, di banyak negara kebiasaan makan daging masih sangat tinggi. Meskipun harus diakui, kebiasaan makan daging masyarakat modern saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh gaya dan pemaknaan terhadap kuliner di berbagai belahan dunia yang berjalan seiring perkembangan zaman.

Namun, soal kebiasaan makan daging di berbagai negara memang merupakan hal yang tak dapat dikompromi. Di Jerman misalnya, kebiasaan makan daging terlihat dari tingginya konsumsi daging orang Jerman yang mencapai 90 Kg per tahun. Hal itu juga terlihat dari banyaknya jenis makanan olahan yang terbuat dari daging, antara lain Wurst (sosis) yang dimakan dengan roti, dan ”Schnitzel” yang digunakan untuk makan siang.[14]

Di China, minat orang mengkonsumsi daging terlihat dari tingginya minat orang China terhadap daging ayam dan daging babi. Pada tahun 2012, tingkat konsumsi daging di China mencapai 52 juta ton. Daging babi menjadi daging favorit orang China. Daging Ayam dan Ikan Daging ayam sudah dikenal sejak zaman lampau. Lukisan-lukisan Babylon pada tahun 600 SM membuktikan hal itu.[15]

Ayam memiliki kandungan nutrisi yang tinggi. Kandungan nutrisi pada ayam sama dengan kandungan nutrisi pada daging sapi. Namun, perbedaannya, tingkat protein pada daging ayam lebih tinggi dibandingkan daging sapi. Fakta tentang daging ayam telah dikenal di berbagai penjuru dunia. Meski secara umum, daging ayam memiliki kandungan nutrisi yang berguna untuk menambah protein, menambah berat badan, menambah vitamin dan mineral, mengontrol tekanan darah, mengurangi resiko kanker, mengurangi resiko penumpukan kolesterol, dan meringankan gejala flu.

Bagaimana dengan ikan? Ikan adalah salah satu makanan bernutrisi tinggi bagi tubuh manusia. Hampir semua jenis ikan yang layak dikonsumsi memiliki beberapa kandungan nutrisi antara lain; protein, mineral, lemak, dan vitamin. Ikan memang terkenal dengan mitos di dua negara di dunia; Jepang dan Israel. Di dua negara ini, ikan sangat digemari. Orang- orangnya jarang mengkonsumsi daging. Di dua negara ini, ikan dipercaya sangat membantu perkembangan otak (baca: kecerdasan).[16]

5. MINYAK GORENG dan MARGARINE

Minyak termasuk salah satu anggota dari golongan lipid, yaitu merupakan lipid netral. Minyak merupakan trigliserida yang tersusun atas tiga unit asam lemak, berwujud cair pada suhu kamar (25°C) dan lebih banyak mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga mudah mengalami oksidasi (Baca: Ilmu Gizi, Moehji, Sjahmien). Minyak goreng dalam pengertian yang lebih luas ialah minyak yang berasal dari bahan- bahan alami, baik hewan maupun tumbuhan yang dipakai untuk menggoreng masakan.

MINYAK GORENG dan MARGARINE

Dari tumbuhan, minyak goreng biasanya dihasilkan dari kelapa, kelapa sawit, jagung, kedelai, biji bunga matahari dan zaitun serta beberapa tumbuhan lainya. Sedangkan dari sumber hewani, biasanya minyak goreng merupakan hasil olahan dari ikan sardine dan ikan paus. Selain itu, minyak goreng juga dihasilkan dari babi, atau yang lebih dikenal dengan sebutan minyak babi. Sementara itu, margarine terbuat dari lemak nabati dicampur dengan garam dan bahan-bahan lainnya. Margarine memiliki aroma yang tidak senikmat mentega, tetapi memiliki daya amulsi yang bagus sehingga membuat teksturnya masakan menjadi lebih bagus.[17]

Dari sisi kandungan nutrisi, minyak goreng dan margarine sama- sama memiliki kandungan lemak dan vitamin. Menurut beberapa sumber, Minyak goreng diperkenalkan pertama kali oleh orang China, pada masa Dinasti Qing (1644-1911). Mereka menggunakan minyak yang diambil dari lemak sapi untuk memasak daging domba dan babi. Pada zaman San Guo atau zaman “tiga kerajaan” orang China kuno menggunakan minyak wijen untuk memasak. [18]

6. SUSU

Susu, dalam bahasa inggris “milk” berasal dari bahasa German Milch yang merupakan turunan dari bahasa Latin “mulgere” yang berarti "memerah atau memeras". Sejarah menyebut susu telah dikenal sejak tahun 10000 SM. Pada zaman Mesir Kuno, susu hanya disuguhkan bagi raja dan keluarganya, para pemuka agama, dan orang- orang yang dianggap kaya. Saat itu, susu dihasilkan dari domba dan sapi. Sejak abad ke-5 hingga abad ke-14, susu mulai dikenal di Eropa.[19]

SUSU atau Milk

Mayoritas orang Eropa, kala itu, lebih mengkonsumsi susu yang berasal dari sapi, bukan domba. Lalu, pada 1862, seorang ilmuwan Perancis, Louis Pasteur melakukan sebuah percobaan untuk membunuh organisme dan bakteri yang ada dalam makanan. Proses itu kemudian dikenal dengan nama Pasteurisasi. Hingga pada 1884, susu yang telah dikemas dalam sebuah botol diperkenalkan di New York, Amerika Serikat.[20]

Dalam perkembangannya, susu kemudian tidak hanya dihasilkan dari hewan tetapi juga tumbuhan. Misalnya: susu kedelai. Beberapa kandungan nutrisi yang terkandung dalam susu antara lain; vitamin, protein, kalsium, magnesium, fosfor, dan zinc, lemak dan mineral.

7. TELUR

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI daring) memberikan ragam definisi terkait telur, antara lain; sel (terdapat pada wanita) yang akan menjadi bakal anak, jika dibuahi oleh sperma, benda bercangkang yg mengandung zat hidup bakal anak yang dihasilkan oleh unggas (ayam, itik, burung, dsb), biasanya dimakan (direbus, diceplok, didadar, dsb), benda kecil-kecil bercangkang, (biasanya berkelompok) mengandung bakal anak, dihasilkan oleh binatang (cecak, buaya, penyu, nyamuk, kutu, dsb), berbagai-bagai benda yg bentuknya (rupanya, sifatnya, dsb) menyerupai telur.

TELUR = eggs

Orang telah mengenal telur berabad- abad lamanya. Catatan sejarah mengemukakan bahwa sejak masa lampau, telur sudah dikonsumsi sebagai makanan. Pada tahun 7000 SM, orang di wilayah India dan China telah mengkonsumsi telur yang dihasilkan dari unggas liar di hutan dan bebek peliharaan mereka.[21] Dalam perjalanan, orang Eropa dan sebagian besar wilayah Asia mulai memelihara bebek, angsa dan ayam dengan tujuan agar dapat mengkonsumsi telur.Telur memiliki kandungan nutrisi karbohidrat, protein dan asam amino.

8. MINYAK TANAH atau ELPIJI

Minyak tanah dan elpiji sama- sama berfungsi sebagai bahan bakar. Bahan bakar, dalam bahasa inggris “Fuel”, merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin “Focalia” dan bahasa Perancis “foaille”. Secara sederhana, bahan bakar dapat didefinisikan sebagai bahan atau material tertentu yang dipakai untuk menghasilkan api. Contoh bahan bakar antara lain minyak dan batubara. Minyak tanah dan elpiji masuk dalam kategori itu. Minyak tanah merupakan salah satu bahan bakar yang dipakai oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, khususnya sebelum tahun 2004.

MINYAK TANAH atau ELPIJI


Elpiji (LPG) Elpiji hanya pelafalan sederhana dari LPG (liquified petroleum gas). Jika diterjemahkan, menjadi gas minyak bumi yang dicairkan atau dalam bahasa informal orang menyebutnya sbegai “gas cair”. Elpiji kini telah menjadi bahan bakar utama yang digunakan hampir di seluruh rumah tangga di Indonesia, berdasarkan program pemerintah yang mengonversi minyak tanah ke LPG pada tahun 2012.[22[22]

Tujuan dari program itu ialah agar masyarakat dapat menikmati bahan bakar yang praktis, bersih, dan efisien sedangkan subsidi BBM dapat ditekan sehingga meringankan beban keuangan negara dalam penyediaan dan pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM). Dalam konteks bahan pokok, kebutuhan akan bahan bakar merupakan kebutuhan yang mutlak dipenuhi setiap harinya.

9. GARAM ber-IODIUM dan ber-NATRIUM

Garam dipakai sebagian besar penduduk dunia sebagai penyedap makanan; agar makanan bertambah nikmat. Garam, rasanya asin. Takaran garam yang cukup ke dalam sebuah masakan akan membuat masakan tersebut bertambah nikmat. Garam yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai salt itu memiliki kandungan zat yang berguna bagi tubuh manusia.

Fakta Garam

Dalam bukunya, “Food in History”, Reay Tannahill menerangkan bahwa bangsa Mesir, Cina, dan Persia telah mulai memproduksi garam melalui penguapan air laut oleh panas matahari serta melakukan penambakan garam. Garam juga telah ada sejak zaman Romawi Kuno. Kala itu, garam bahkan dijual dengan harga yang mahal.

Sementara, di Indonesia, penambakan garam telah ada sejak zaman kerajaan- kerajaan dan zaman pemerintahan kolonial Belanda. Awal mula garam di Indonesia juga berkaitan erat dengan proses pengasinan ikan di masa lampau. Beberapa sumber-yang sebagian besar adalah literature kesehatan- menyebutkan bahwa idealnya kita harus mengkonsumsi sekitar 500 mg garam setiap hari agar seluruh fungsi tubuh dapat bekerja dengan baik.


Garam Iodium

Iodium merupakan zat gizi essensial bagi tubuh, karena merupakan komponen dari hormon thyroxin. Garam beriodium sangat penting dikonsumsi untuk mencegah penyakit gondok. Penyakit gondok ialah penyakit bengkak pada leher depan karena kelenjar yang membesar. Konsumsi garam iodium sangat membantu kita untuk mencegah penyakit gondok.

Garam Natrium

Garam natrium (natrium klorida) biasa disebut juga garam dapur. Sejak zaman dahulu, garam dapur sangat dipercaya untuk mengawetkan makanan, khususnya daging atau ikan. Mengkonsumsi garam dapur juga baik bagi kesehatan kita. Namun, direkomendasikan agar tetap menjaga takaran asupan garam. Sebab, jika berlebihan, akan berdampak hypertensi.

Sembako: Dimana Negara

Polemik seputar kekurangan, tingginya harga bahkan ketiadaan sembako masih marak terjadi hingga kini. Padahal, jika merujuk pada frase “bahan pokok”, tentu kita setuju untuk satu hal bahwa kita wajib mengkonsumsi bahan pokok tersebut setiap harinya. Artinya, minimal asupan nutrisi dari sembilan bahan pokok ke dalam tubuh dapat dialami atau dinikmati setiap harinya. Tetapi, ya begitulah persoalan di negara yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia ini. Sembako langka, keterbatasan stok sembako, impor sembako bahkan ketiadaan sembako di pasar, masih menjadi momok yang terus menghantui kehidupan masyarakat di Indonesia.

"Dimana negara?" Pertanyaan itu wajib kita dengungkan dalam konteks kekinian, jika melihat masih tingginya angka kurang gizi. “Dimana Negara?” juga layak kita suarakan saat masih banyak bayi yang dilahirkan dalam kondisi abnormal karena ibunya tak mengkonsumsi makanan yang bergizi? “Dimana negara” terus kita teriakkan saat sebagian besar warga negara kesulitan membeli bahan pokok di pasar akibat ulah para spekulan (baca: spekulan beras)? “Dimana negara” adalah seruan sepanjang usia kita ketika negara ketika terus abai terhadap persoalan mahalnya harga sembako di pasar!!*

Marsel Gunas
[1] Sembilan bahan pokok tidak hanya lahir dari pengetahuan tentang tingkat nutrisi yang dikandung dalam makanan yang menjadi kebutuhan harian manusia. Di Indonesia, sembako secara eksplisit tertulis dalam keputusan menteri no. 115/mpp/kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998. File dokumennya bisa anda dapatkan disini

[2] Beras memiliki turunan kata yang cukup panjang. Tentu, arti etimologis dari sebuah kata sangat membantu kita memahami makna terdalam dari kata tersebut, bukan? Nah, beras yang jelas dihasilkan dari tanaman padi. Kata padi merupakan kata bahasa Melayu yang berasal dari kata paddy

[3] Soal sejarah, memang terdapat berbagai versi sejarah terkait penemuan tanaman padi. Namun, yang jelas lembaran-lembaran historis tersebut telah memberikan sedikit pencerahan kepada kita soal asal usul tanaman padi. Singkatnya, bisa jadi begini: tanaman padi telah tumbuh di berbagai belahan dunia. Namun, karena keterbatasan pengetahuan akan manfaatnya, tumbuhan itu dianggap sebagai tanaman liar yang tak layak dikonsumsi manusia.
Tulisan di Wikipedia tentang padi (rice) memang cukup dijadikan rujukan untuk mencari lebih jauh tentang sejarah padi.Terakhir kali tulisan di yang diulas di Wikipedia diupdate pada 02 Agustus 2015. Tulisan itu mengemukakan bahwa tanaman padi pertama kali dikenal di cerita masa lampau China.

[4] Dua mitos yang muncul memang mendominasi kisah penemuan padi dalam beberapa literatur terkait sejarah tanaman padi. Harus diakui Kisah dewa dewi masa lampau telah memberi pengaruh yang besar terhadap dunia keilmuan saat ini.

[5] Jika ditakar dari kandungan nutrisi, beras memang memiliki kandungan nutrisi yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia

[6] Jika anda mengunjungi wilayah Kepulauan Maluku, anda tentu akan akrab dengan makanan ini. Orang Maluku dan Papua dapat menalangi kelaparan saat musim kemarau atau musim kering dengan makanan yang dikenal sebagai sagu itu

[7] Jagung memiliki nutrisi yang telah menjadikan dia sebagai makanan pengganti beras. Beberapa catatan sejarah tentang tanaman jagung memang dapat dilihat diberbagai literatur terkait tanaman. Sebagian besar sejarah tanaman jagung mengatakan jagung berasal dari wilayah Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

[8] Pegunungan Andes (Bahasa Quechua, anti, "jengger tinggi") adalah pegunungan terpanjang di dunia yang membentuk rangkaian dataran tinggi sepanjang pantai barat Amerika Selatan. Terlepas dari itu, fakta unik lain tentang jagung mengungkap khasiat jagung yang bisa jadi perangkap hama. Anda percaya?

[9] Sejarah panjang penemuan tanaman tebu telah memicu kontroversi ketika dihadapkan dengan pertanyaan "siapa penemu gula?"

[10] Florida Crystals adalah produsen gula terkemuka dan pertama yang terintegrasi perusahaan tebu di Amerika Utara. Florida Crystals merupakan satu-satunya produsen gula organik bersertifikat di Amerika yang telah disertifikasi CarbonFree® oleh Carbonfund.org.

[11] Sebelum sayur-mayur ditempatkan pada posisi yang sama pada klasifikasi sembako, sejarah penempatan sayur mayur sebagai makanan yang sepasang telah berlangsung lama, bahkan sejak masa pra-sejarah

[12] Tingkat konsumsi sayur mayur dan buah-buahan memang menjadi tawaran alternatif saat kampanye "Kurangi Makan Daging" mulai digemakan di dunia kuliner dunia.

[13] World Health Organization (WHO) merupakan organisasi kesehatan internasional yang bernaung dibawah PBB (Perserikatan Bangsa- Bangsa) dan memiliki tugas pokok untuk memperbaiki sistem kesehatan dunia, Mempromosikan pola hidup sehat melalui, kursus dan pelatihan-pelatihan, mencegah penyakit tidak menular dan penyakit menular, dan menjadi lembaga yang memiliki tingkat kesiagaan dan pengawasan serta respon terhadap persoalan kesehatan dunia.

[14] Mengkonsumsi daging, mungkin soal kesanggupan; soal kemampuan ekonomi. Sebab, daging cukup mahal harganya. Namun, terlepas dari mahalnya harga daging, faktanya jelas bahwa daging memiliki kandungan nutrisi bagi tubuh manusia.

[15] Ada perbedaan tradisi makan daging di berbagai negara. Di Jerman, tingkat konsumsi daging cukup tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara Eropa lainnya. Di Jerman anda akan menjumpai berbagai jenis makanan yang terbuat dari daging. Di Indonesia, konsumsi daging juga cukup tinggi. Apalagi saat jelang Lebaran dan hari-hari besar keagamaan lainnya.

[16] Harus diakui, kebiasaan makan orang China adalah sesuatu yang unik. Tetapi, tak jarang, banyak masakan China yang diburu para penggila kuliner dunia. Sebuah hasil penenlitian mengemukakan bahwa seperempat daging dunia dikonsumsi di China.

[17] Yang jelas, ada perbedaan yang cukup susbtantif antara minyak goreng, mentega dan margarin. Namun, satu hal yang pasti bahwa minyak goreng telah dipakai sejak berabad- abad lamanya.

[18] Dinasti Qing atau yang dikenal juga sebagai Dinasti Manchu dan adalah satu dari dua dinasti asing yang memerintah di peradaban China masa lampau setelah dinasti Yuan Mongol. Dalam dunia kuliner, sebgian menilai sejarah peradaban China turut memberikan berkontribusi terhadap perkembangan dunia kuliner

[19] Rosenau, M.J, pada tahun 1913, pernah menulis buku The Milk Question. Buku ini telah memberikan paparan yang cukup autentik terkait sejarah susu, termasuk kebiasaan minum susu di dunia.

[20] Pasteurisasi adalah sebuah proses pemanasan makanan dengan tujuan membunuh organisme merugikan seperti bakteri, virus, protozoa, kapang, dan khamir. Proses ini diberi nama atas penemunya Louis Pasteur seorang ilmuwan Perancis. Louis Pasteur (1822-1895) merupakan ilmuwan kelahiran Perancis. Sebagai ilmuwan, ia berhasil menemukan cara mencegah pembusukan makanan hingga beberapa waktu lamanya dengan proses pemanasan yang biasa disebut pasteurisasi.

[21] Telur, makanan yang memiliki kandungan protein tinggi itu memiliki sejarah yang cukup panjang. Penemuan telur juga tak terlepas dari ditemukannya bekas-bekas peradaban dunia, baik di Eropa maupun Asia.

[22] Konversi minyak tanah ke Elpiji telah dikumandangkan sejak tahun 2007, pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Jilid I. Blue Print program konversi minyak tanah ke Elpiji tahun 2007 bisa di download disini

Arti Kata Pangan dan Sebuah Catatan

Pangan. Kata itu terdengar akrab sekaligus asing pada saat yang sama. Dalam penggunaannya, pangan menjadi kata yang kedengarannya penting ketika diucapkan oleh kelompok elit dari kalangan pemerintahan tetapi sontak terabaikan ketika dihayati dalam keseharian masyarakat jelata. Ada apa dengan Pangan? Arti Kata Pangan, sebuah catatan lepas.

Arti Kata Pangan - Sebuah catatan

Istilah apa yang akan dipakai untuk membahasakan "bahan, biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan, yang dimakan oleh makhluk hidup mendapatkan tenaga dan nutrisi": pangan atau makanan? Pilihan Wikipedia Indonesia, jelas: Makanan. Coba ketikkan url https://id.wikipedia.org/wiki/Pangan. Anda akan dialihkan (di-redirect) ke halaman https://id.wikipedia.org/wiki/Makanan.

Apakah kedua kata itu (oleh Wiki) dijelaskan dengan satu halaman perujuk saja karena memang artinya sama? Entahlah. Belum ada keterangan 'resmi' tentang itu. Menariknya, KBBI daring pun 'berperilaku' sama. Ketikkan pencarian arti kata "pangan". Jawabannya singkat, cuma beberapa kata: makanan, bla bla bla. Tetapi, coba sebaliknya: ketikkan kata: "makan.an". Jawabannya panjang, bahkan panjang sekali; tidak ada kata pangan di sana.[1]

Oke-lah. Itu kata Wiki dan KBBI. Bagaimana dengan Anda? Kata mana yang akan dipilih ketika artinya merujuk ke terjemahan yang tadi, pangan atau makanan? Lidah dan telinga Timur akan mendesak saya untuk memilih kata yang kedua. Betapapun, kata "makanan" terdengar lebih akrab di telinga dan mudah untuk dilafalkan serta diingat ketimbang kata pertama. Entah mengapa, "pangan" lebih terkesan kata Jawa yang tidak belum saya mengerti.

Pangan vs Makanan

Kalau Anda juga punya pendapat yang sama, kita tidak sendiri. Oh, iya. Sebelumnya, perlu ditegaskan, ini bukan soal Jawa dan non-Jawa. Ini tentang kata mana yang lebih dipilih untuk membahasakan "segala bahan yang kita makan atau masuk ke dalam tubuh yang membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberikan tenaga, atau mengatur semua proses dalam tubuh" (Lihat terjemahan KBBI daring).

Tunggu dulu! Kita tidak sendiri? Ya, mari kita ukur dari kata mana yang paling banyak tersedia di mesin pencarian (Google). Dalam pencarian tertanggal 10 Agustus 2015 melalui google.com tercatat, pencarian atas kata "makanan" terhitung sejumlah 72.200.000 hasil dalam 0,21 detik. Sementara, untuk pencarian kata "pangan" terhitung sejumlah 3.890.000 hasil pencarian dalam 0,25 detik. Beda jauh, bukan?

Itu dari sisi "berapa banyak hasil pencarian". Bagaimana jika dibandingkan dari sisi "berapa banyak orang yang mencari" kedua kata itu? Baiklah. Mari kita sedikit membolak-balik lemari arsip Google Trends untuk menjawab pertanyaan itu. Kebetulan, saya punya salinan arsipnya (capture) dari tanggal 7 Agustus 2015.

Pangan atau makanan: Google Trends

Grafiknya tegas dan perbedaannya jelas. Pangan (yang diwakili garis biru), kalah jauh dibanding kata Makanan (yang diwakili garis merah). Perbedaan itu juga terkesan semakin melebar dari waktu ke waktu. Sepanjang 2013, rasio perbandingannya 82:4. Di tahun berikutnya, sedikit berkurang menjadi 78:4. Namun, di tahun 2015 yang baru memasuki paruh kedua, Google Trends mencatat rasio perbandingannya membengkak menjadi 91:4.[2]

Mungkin jawaban sederhana atas pertanyaan, "kenapa bisa begitu?" adalah karena karena kata "pangan" merupakan kata serapan dari bahasa daerah (Jawa) dan karena itu hanya (renyah ketika) dipakai di lingkup tertentu. Tetapi jawaban itu tidaklah memuaskan. Misalnya, bagaimana dengan kata "Galau"? Kata serapan dari bahasa Minangkabau itu kini telah jamak dipakai, umum dipahami, dan renyah diucapkan terlebih di beranda-beranda jejaring sosial.[3] Berbeda dengan galau, untuk menulis kata pangan di dinding status media sosial, mungkin perlu ditambahkan hastag #ApaSih di belakangnya. #Glek.

Bermula Dari Kata Yang Sama: Makan

Berpaling ke Google Terjemahan untuk mencari pembenaran, ternyata tidak banyak membantu. Google terjemahan tetap menempatkan kata "pangan" di kasta kedua setelah kata "makanan" untuk terjemahan instan dari kata bahasa Inggris food (lihat gambar).[4] Meski begitu, FAO (Food and Agriculture Organization), yang berada di bawah naungan PBB, tidak diterjemahkan dengan Organisasi Makanan dan Pertanian, tetapi malah Organisasi Pangan dan Pertanian.

Pangan - Food - Makanan

Jika Food diterjemahkan dengan makanan dan pangan, dan jika pangan = makanan, mungkin ada baiknya jika penelusuran lanjutan atas tanya yang tersimpan sejak awal catatan ini difokuskan pada kata kerja (verba) yang menjadi asal dari kedua kata itu: makan. Oleh Wiki, kata dasar "makan" dipakai dalam 4 (empat) bahasa: Banjar, Indonesia, Malaysia, dan Swedia.[5]

Mari kita singkirkan rujukan untuk penggunaan kata makan dalam bahasa Swedia (yang diterjemahkan sebagai 'bentuk singular dari istilah wanita yang telah menikah). Kata "makan", baik dalam bahasa Banjar, Indonesia, dan Malaysia, diterjemahkan dengan arti yang sama: to eat (consume). Wiki menjelaskan, secara etimologis, kata "makan" dalam ketiga bahasa itu (Banjar, Indonesia, dan Malaysia) merupakan kata yang diturunkan dari rumpun bahasa Proto-Malayic (*makan), lebih jauh lagi dari Proto-Malayo-Polynesian (*kaən), dan dari rumpun bahasa Proto-Austronesian (*kaən).

Dalam perjalanannya, kata "makan" dalam bahasa Indonesia adalah kata yang "diambil" dari bahasa Melayu (Proto-Malayic). Kemudian, kata itu menjadi umum digunakan di seantero nusantara, mengingat bahasa Melayu adalah bahasa pengantar/ bahasa pergaulan (Lingua franca) di daerah jajahan Belanda. Kata "makan" (bahasa Indonesia) bahkan juga diserap ke dalam bahasa Belanda, dan sampai sekarang masih menjadi salah satu kata bahasa Belanda yang diserap dari bahasa Melayu (Indonesia).[6]

Jadi, begitulah. Saya, yang dalam bahasa daerah membahasakan to eat dengan ghan (kata bahasa Manus - Manggarai Timur - Flores), kemudian lebih akrab dengan kata makan karena sejak awal kata itu dipakai sebagai bahasa pemersatu di seluruh nusantara. Kira-kira begitu.

Lalu, bagaimana kata makan bisa dikaitkan dengan kata pangan?

Kata "Makan" Dalam Bahasa Jawa

Pembahasan pada bagian ini disumberkan dari sebuah artikel dengan judul yang dikutip dengan persis.[7] Ternyata, dalam perbendaharaan kosa kata bahasa Jawa, kata makan diungkapkan dengan banyak bentuk, seturut jenjang ngoko, krama, dan krama inggil. Dalam pembahasannya sang penulis menjelaskan, minimal ada 6 (enam) kata bahasa Jawa yang dipakai untuk membahasakan kata makan, yakni nothol, mbadhok, nyekek, mangan, maem dan dahar.

Dari segi penulisannya, kata yang paling dekat dengan kata pangan (makan.an) adalah kata mangan (makan). Sang penulis juga menjelaskan, berbeda dari kata-kata yang lain, kata mangan, memang lebih umum dipakai (catatannya: namun JANGAN memakai kata ini untuk orang tua atau orang yang kita hormati). Mungkin itulah alasan mengapa terjemahan falsafah makan tidak makan asal kumpul, dalam bahasa aslinya diungkapkan dengan kata mangan dan bukan kata lain yang merujuk ke arti yang sama (mangan ora mangan waton kumpul).[8]

mangan ora mangan waton kumpul

Jauh sebelum kelompok musik Slank memperkenalkan lagu Makan Gak Makan asal Kumpul dan lama sebelum kumpulan sketsa Umar Kayam berjudul Mangan Ora Mangan Kumpul diterbitkan, kata Pangan sebenarnya sudah lebih dahulu terkenal (diperkenalkan). Saya masih ingat, semasa SD di tahun 90-an, kata "pangan" sudah termasuk dalam tiga serangkai kata sakti yang wajib dihafalkan terkait dengan kebutuhan hidup manusia.[9]

Sandang, Pangan, Papan: pakaian, makanan, dan tempat tinggal adalah tiga istilah yang dikaitkan dengan kebutuhan primer manusia berdasarkan tingkat kepentingannya. Usut punya usut, rangkaian penyebutan ketiga istilah itu ternyata berasal dari tradisi dalam masyarakat Jawa. Disebutkan, Sandang-Pangan-Papan adalah konsep yang biasanya melandasi kehidupan bagi orang Jawa. Kata-kata tersebut biasanya terucap dari mulut orangtua kepada anak muda yang akan memulai kehidupan baru dengan wanita yang di-idamkan.[10]

Tentang bagaimana konsep itu kemudian masuk ke dalam kurikulum pembelajaran atau menjadi kata-kata sakti dalam kehidupan bernegara, mungkin akan kita telusuri di lain waktu. Poinnya adalah, ketiga istilah yang diserap dari kosakata bahasa Jawa tersebut dapat membahasakan secara singkat apa yang sebelumnya terlalu panjang-lebar dirumuskan dalam penjabaran kebutuhan primer, kebutuhan yang amat sangat dibutuhkan manusia dan sifatnya wajib untuk dipenuhi.

Hemat saya, karena sudah menjadi tugas negara untuk memastikan setiap warganya tercukupi kebutuhan primer-nya, istilah sandang, pangan, papan yang singkat dan mudah diingat itu kemudian diadopsi (diserap sebagai kata bahasa Indonesia) dan diangkat sebagai kata-kata sakral yang dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat nusantara.

Terpenjara: Saat Pangan Jadi Kata Sakral

Barangkali, itulah alasan mengapa kata galau lebih populer ketimbang kata pangan, meskipun dua-duanya sama-sama anak angkat dalam keluarga kosakata bahasa Indonesia. Pangan hanya "milik" lembaga-lembaga yang bertanggungjawab soal 'makanan' warganegara. Lihat saja variasi nama "Badan Ketahanan Pangan" yang tersebar dari pusat hingga tingkat daerah. Mungkin hanya BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) di jalan Percetakan Negara (Jakarta) itulah satu dari antara sedikit lembaga negara yang mencantumkan kata "makanan" dan bukan "pangan" dalam namanya.

Di tangan negara, arti kata pangan pun menjadi lebih luas ketimbang saat ia dikandung bahasa aslinya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012, arti kata pangan bahkan menjadi lebih 'menyeluruh' dan kompleks. "Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman."[11]

Begitulah. Ijinkan saya mengatakan ini: kini kata pangan lebih terkesan milik pemerintah dan birokrat (dan nama jurusan serta program studi di sejumlah universitas). Ia bukanlah kata (seperti kata galau) yang dihidupi masyarakat (baca: warganegara) dalam kesehariannya. Ia juga tercerabut dari asal kata-nya dan diberi atribut yang lebih belibet dan rumit; pengertian yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang 'makan bangku sekolahan'. Jangan heran, ketika pemerintah teriak-teriak soal kedaulatan pangan atau kemandirian pangan, teriakan itu adalah sesuatu yang perlu dibahasakan ulang dalam sekian banyak proyek, seminar, atau matakuliah untuk dapat dimengerti dan dijalankan bersama oleh segenap warga negara.

Ya. kenapa sih harus dibuat ribet? Misalnya, daripada harus pidato berapi-api tentang "gerakan pangan berdaulat", kenapa tidak secara sederhana dibahasakan dalam istilah aslinya. Bahwa negara kita harus mengusahakan sendiri makanan untuk warganya, tanpa harus tergantung dari impor negeri tetangga. Bahwa semangat untuk mengusahakan "makanan sendiri" (Kemandirian Pangan) harusnya menjadi sikap mental semua warganegara agar nantinya kita tidak disebut "bangsa pengimpor" atau bahkan "bangsa pengemis".

Sekian dulu.

Robert Bell. Thundang
[1] Ada beberapa "versi" dari Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan (KBBI daring) yang tersebar di internet. Saya cenderung memilih KBBI daring "versi" Kemendikbud sebagai sumber rujukan.

[2] Anda bisa mengecek perbandingan terbaru dalam trend pencarian keywords pangan dan makanan di Google Trends Indonesia.

[3] Saya menemukan "asal kata" galau ini dari kicau seorang sahabat Kompasiana: M. Rajib Rakatirta. Dalam ceritanya, Rajib mengaku bahwa ia sendiri baru tahu jika kata ‘galau’ berasal dari Minangkabau setelah membaca Kamus Umum Bahasa Indonesia yang terbit pada tahun 1976. Bagian yang paling saya suka dari penuturan Rajib dalam kisahnya yang dijuduli Saya Galau Karena Kata Galau itu adalah ketika temannya yang berasal dari Minangkabau bertanya kepada neneknya, apakah benar kata "galau" berasal dari Minangkabau. “Memangnya kau kira dari mana?” begitu kata neneknya. Jawaban itu membuat saya terpingkal-pingkal sekaligus tercenung pada saat yang sama: begitu jauh kita sudah tercerabut dari akar, ternyata.

[4] Kata Food, oleh Google Terjemahan instan diterjemahkan sebagai "any nutritious substance that people or animals eat or drink, or that plants absorb, in order to maintain life and growth." Dalam arti tertentu, menurut saya, terjemahan itu sedikit lebih kompleks dibanding terjemahan kata bahasa Indonesia ("bahan, biasanya berasal dari hewan atau tumbuhan, yang dimakan oleh makhluk hidup mendapatkan tenaga dan nutrisi") yang lebih menitikberatkan makna "makanan" dalam fungsinya untuk manusia.

[5] Harus saya akui, saya sendiri tidak puas karena hanya menyumberkan data tentang kata "makan" dari apa yang dikatakan Wikipedia tentang kata "makan". Semoga ke depannya akan ada kesempatan untuk saya melengkapi daftar sumber bacaan dengan rujukan yang sedikit lebih lengkap dan mendalam.

[6] Dalam pembahasan berjudul Dutch terms derived from Indonesian, Wiki mengisahkan ada 19 kata bahasa Belanda yang diserap dari bahasa Indonesia. Kata makan (makken) adalah salah satu di antaranya.

[7] Meski tidak bisa dibilang lengkap, Jejak Candra sangat banyak melengkapi ketidaktahuan saya tentang bagaimana kata "makan" diartikan dan digunakan dalam bahasa Jawa. Ada catatan menarik yang disematkannya di sana: "Jika anda bukan orang jawa, maka artikel ini bisa menjadi wawasan baru bagi anda. Artikel ini penting, apalagi bagi anda anda yang ingin menikah dengan orang Jawa. Jangan sampai anda bilang “bu wis nyekek durung?” ke (calon) mertua kalo anda tidak mau di pecat menjadi (calon) menantu."

[8] Dari kedua "tokoh" yang disebutkan itu, saya hanya "kenal" salah satunya: SLANK dengan lagunya yang populer semasa saya SMA: Makan Gak Makan Asal Kumpul. Saya belum banyak tahu tentang kumpulan Sketsa Umar Kayam berjudul Mangan Ora Manga Kumpul itu. Meski begitu, untungnya ada yang sempat mengulas tentang buku itu di internet. Semoga nantinya ada kesempatan untuk memiliki, atau sekurang-kurangnya, membacanya.

[9] Kebutuhan manusia yang banyak itu, oleh matapelajaran di bangku sekolah dipilah-pilah dan dikelompokkan lagi dalam kotak-kotak yang lebih mudah diingat. Artikel ini mungkin bisa membantu Anda untuk kembali bernostalgia ke bangku sekolah, saat pengelompokkan ini mati-matian dihafal untuk bisa lulus ujian kenaikan kelas. :)

[10] Artikel rujukan ini ditulis oleh Agus Ali Imron Al Akhyar, Anggota KS2B Tulungagung. Ia menyentil soal sandang, pangan, papan dalam pengantar pembahasannya tentang konsep Pawon (dapur) dalam masyarakat Jawa.

[11] Silahkan di-download file lengkap tentang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan di sini.

Kemandirian Pangan dan Kearifan Lokal

Kemandirian pangan merupakan salah satu jalan pewujudan kedaulatan pangan. Untuk mewujudkan kemandirian pangan, perlu diberikan ruang yang lebih besar kepada petani untuk mengembangkan tanaman pertaniannya. Kemandirian pangan mutlak sejalan dengan penghargaan terhadap kearifal lokal.

Kemandirian Pangan dan Kearifal Lokal

Apa itu kemandirian pangan?

Kemandirian (mandiri) berasal bahasa Italia: Independente dan bahasa Perancis: independant, yang berarti tidak terikat atau bergantung pada orang lain. Kemandirian dapat diartikan sebagai sebuah keadaan dapat berdiri sendiri; tidak bergantung pada orang lain. Dalam Bahasa Inggris, to depend yang berasal dari bahasa Latin: dependere, dan bahasa Perancis: dependre yang berarti “bergantung pada”.[1]

Sementara itu, dalam UU No. 8 Tahun 2012, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Dalam dokumen yang sama, kemandirian pangan didefinisikan sebagai kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Baca: UU No 18 Tahun 2012.[2]

Kearifan Lokal (Local Wisdom)

Istilah kearifan lokal (local wisdom) banyak ditemukan di dalam literatur-literatur sosiologi dan atropologi. Dalam antropologi, kearifan lokal lebih dikenal dengan istilah lokal jenius. Kearifan lokal memiliki dimensi sosial dan budaya yang kuat, karena memang lahir dari aktivitas perlakuan berpola manusia dalam kehidupan masyarakat.

Kearifan lokal dapat menjelma dalam berbagai bentuk seperti ide, gagasan, nilai, norma, dan peraturan dalam ranah kebudayaan, sedangkan dalam kehidupan sosial dapat berupa sistem religius, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan.[3]

Kemandirian Pangan: Jangan Abaikan Kearifan Lokal

Wacana kemandirian pangan memang masih hangat diperbincangkan. Rakyat masih menanti apakah Jokowi-JK mampu mewujudkan agenda mahal itu atau malah kembali mengalami nasib yang sama dengan pemimpin- pemimpin sebelumnya. Terlepas dari itu, agenda kemandirian pangan adalah agenda yang mendesak saat ini.

Tekad pemerintahan Jokowi-JK  mewujudkan kemandirian pangan terwujud dalam program Nawa Cita. Hal tersebut telah bergema sejak kampanye pemilihan presiden (Pilpres) 2014 lalu. Kemandirian pangan adalah salah satu strategi Jokowi-JK merealisasikan mimpi petani Indonesia; kedaulatan pangan.

Tetapi, diatas semua agenda itu, yang tak kalah penting adalah bahwa agenda kemandirian pangan jangan lantas mengabaikan kearifan lokal yang ada di masyarakat. Pertanian lahan kering, sebagai contoh, jangan sampai terganggu oleh program dan pengembangan pertanian modern.

Makanan-makanan lokal seperti jagung, umbi-umbian, dan berbagai tanaman lahan kering lainnya harus tetap dikembangkan agar dapat menjadi pangan alternatif saat musim kering tiba. Makanan-makanan itu juga dapat mengurangi beban ketergantungan masyarakat pada beras. Selain itu, kecukupan pangan bagi masyarakat lokal juga tetap terjaga.

Marsel Gunas
[1] Pengertian kata kemandirian harus dilihat secara komprehensif agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menyikapi isu kemandirian pangan.

[2] UU No 18 Tahun 2012 tentang pangan membedakan pengertian tiga istilah besar terkait pangan, ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan. Baca:UU No 18 Tahun 2012.

[3] Pengertian kearifan lokal dapat ditemukan di dalam beberapa literature sosiologi dan antropologi. Dalam konteks pangan, kaitan antara kearifan lokal dapat ditemukan dalam buku Caroline Nyamai-Kisia (2010) tentang Kearifan Lokal dan Pembangunan Indonesia.

Swasembada Pangan Tak Kunjung Datang Para Petani Terpuruk

Kisah tentang Indonesia menjadi negara swasembada beras tak lagi terdengar. Itu hanya menjadi sebuah kisah usang yang muncul setiap diskusi pangan nasional. Kegelisahan akan nasib sektor pangan nasional terus menguak. Swasembada pangan tak kunjung datang: hanya menjadi jargon kampanye politik para elit.

Swasembada Pangan Tak Kunjung Datang

Apa itu swasembada pangan? Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan swasembada sebagai usaha mencukupi kebutuhan sendiri. Dalam kaitanya dengan urusan pangan, swasembada pangan lebih diartikan sebagai usaha mencukupi atau memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri. Swasembada juga diidentikan dengan sebuah sikap bebas, mandiri, otonom, atau independen.

Artinya, dalam urusan pangan kita harus bisa mencukupi kebutuhan pangan nasional secara mandiri tanpa pangan yang dipasok dari luar: kita tidak membeli pangan dari luar tetapi mencukupi kebutuhan dengan pangan hasil olahan kita sendiri, dari tanah kita sendiri.[1]


Secara historis, Indonesia pernah melakukan hal itu. Pada era kepemimpinan Soeharto, Indonesia berhasil menjadi negara swasembada beras. Di bawah payung gerakan revolusi hijau, Soeharto menggenjot produksi padi secara signifikan, melalui program sawah sejuta hektar. Berbarengan dengan itu, investasi pestisida dan pembangunan industri benih, pupuk dan sarana pertanian lainnya juga turut digenjot.

Usaha pertanian Indonesia, kala itu, dianggap maju, hingga pada 1985, Indonesia mendapat penghargaan dari FAO (Food and Agriculture Organization) Gerakan revolusi hijau itu sendiri sebenarnya bukan yang pertama kali dilakukan di dunia. Norman Borlaug, penerima penghargaan Nobel Perdamaian 1970, adalah orang yang dipandang sebagai konseptor utama gerakan ini.

Revolusi hijau diawali oleh Ford dan Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi di Filipina (1960).[2] Masih Sebatas Harapan Meski masih debatable, kesuksesan Soeharto menjadikan Indonesia sebagai negara swasembada beras tidak dilanjutkan oleh pemerintahan selanjutnya.

Memang, harus diakui pula bahwa ada yang mengganggap kebijakan Soeharto kala itu terkesan “memaksa”, lantaran strategi sawah sejuta hektar yang digalang untuk mewujudkan swasembada beras ala Soeharto. Pasalnya, lahan yang tak layak ditanami padi dan lebih cocok ditanami komoditas lain selain padi dipaksakan untuk ditanami padi.

Padahal, jauh sebelum program itu dijalankan, petani di beberapa daerah telah memanfaatkan makanan berkabohidrat selain beras sebagai makanan utama. Dengan kondisi itu, seharusnya lahan mereka tidak diubah menjadi sawah untuk ditanami padi.

Opsi lain yang masih bisa diambil yaitu mengembangkan komoditas selain padi agar bermanfaat bagi petani. Pada era pemerintahan selanjutnya, swasembada beras tak lagi terdengar sebagai sebuah fakta keberhasilan. Padahal, anggaran untuk sektor pertanian setiap pemerintahan selalu meningkat.

Pada era SBY, untuk menggenjot target swasembada pangan, anggaran pertanian ada di angka yang fantastis. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) 2014 merilis pada 2005-2014 anggaran pertanan dan pangan meningkat 611 persen dan target kementerian pertanian surplus beras hingga 10 juta ton. Ironisnya, berdasarkan data BPS 2014, anggaran sebesar itu malah melahirkan impor pangan yang meningkat 346 persen dalam kurun waktu 2003-2013. Impor beras pada 2014 juga besar yaitu 1,225 juta ton.[3]

Total anggaran kementerian pertanian pada APBN 2015 senilai Rp 32,7 triliun. Dari total anggaran ini, kementan akan menjalankan sejumlah agenda pertanian nasional, antara lain rehabilitasi jaringan irigasi, bantuan benih, bantuan pupuk, dan bantuan alat mesin pertanian (alsintan). Dalam beberapa kesempatan, pemerintah secara gamblang menjelaskan bahwa kucuran anggaran yang besar dan sejumlah program pembangunan sector pertanian tersebut diarahkan untuk mengejar target swasembada pangan dalam kurun waktu 3 tahun.

Total anggaran yang besar itu ternyata masih belum mampu mengembalikan Indonesia menjadi negara kuat dalam urusan pangan. Swasembada hanya tinggal harapan, dan akan selalu menjadi jargon politik para elit untuk mendulang dukungan publik dan mengisi kolom- kolom media massa, tanpa realisasi. Buktinya, impor pangan pada 2015 masih terjadi, pasokan pangan nasional juga masih kurang. Anggaran pertanian hanya dimanfaatkan untuk tambal sulam kebijakan: gali lubang tutup lubang.

Konsistensi Jokowi Harapan besar petani kembali disematkan di pundak Presiden Joko Widodo. Apalagi, swasembada pangan juga merupakan salah satu target kerja pemerintahan Jokowi. Jika Jokowi konsisten dengan agenda swasembada pangan, kebijakan pertanian Indonesia harus didudukan diatas kepentingan petani: kesejahteraan petani harus jadi visi utama.

Jangan sampai kebijakan pertanian hanya menjadikan petani sebagai objek. Keberanian dan ketegasan untuk menghentikan derasnya arus impor bahan pangan perlu menjadi misi utama kebijakan pertanian. Jika tidak, swasembada pangan hanya akan terus menjadi harapan yang tak kunjung datang.*

Marsel Gunas
[1] Definisi swasembada menurut KBBI menggambarkan betapa swasembada tak memungkinkan derasnya laju impor bahan pangan. Apalagi, negara kita adalah negara agraris, yang kaya hasil bumi dan sejumlah tanaman pangan.

[2] Revolusi Hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya pertanian yang dimulai pada tahun 1950-an hingga 1980-an di banyak negara berkembang, terutama di Asia.

[3] Ironis memang jika kita melihat besarnya anggaran bagi sektor pertanian. Jumlah anggaran itu tak sebanding dengan output hasil pertanian yang tak bisa mencukupi kebutuhan pangan nasional. Alhasil, kita makin rajin impor, petani makin susah. Baca: http://print.kompas.com/baca/2015/05/12/Swasembada-Tanpa-Petani

Janji Kedaulatan Pangan

Kedaulatan pangan adalah asa sekaligus kebutuhan yang mendesak. Sebuah catatan untuk Janji kedaulatan Pangan yang diucapkan Jokowi-JK sebelum terpilih menjadi Presiden RI.

Janji Kedaulatan Pangan - Jokowi

Saat pemilihan presiden (Pilpres) tahun lalu, Jokowi-JK berjanji akan mewujudkan kedaulatan pangan nasional jika terpilih. Beberapa strategi yang disiapkan Jokowi untuk mewujudkan kedaulatan pangan, antara lain: penghentian konversi lahan, pendampingan bagi petani, peningkatan kualitas infrastruktur, dan perbaikan teknologi pertanian.

Jokowi, kala itu juga menjanjikan alokasi anggaran yang ektra bagi petani. Persoalan di sektor pertanian ini pun mulai mengemuka. Bukan hanya soal kesejahteraan petani, tetapi juga berkaitan tingginya harga pangan. Sebagian menilai, target kedaulatan pangan bakal menjadi pepesan kosong.

Jika ditilik dari sisi kucuran anggaran, Kementerian Pertanian memang selalu menjadi salah satu kementerian yang mendapat kucuran anggaran yang cukup besar. Pada tahun 2014, Kementerian Pertanian mendapat kucuran anggaran senilai Rp 15,470 triliun pada Anggaran Belanja Pemerintah Pusat (ABPP) Kementerian Negara/Lembaga dan Non K/L. Pada tahun 2015, Kementan kembali mendapat jatah anggaran untuk pembaharuan swasembada pengan (refocusing) senilai, Rp 16,9 triliun dari APBN-P 2015.

Dengan demikian, total anggaran Kementerian Pertanian pada APBN 2015 senilai Rp 32,7 triliun. Dari total anggaran ini, Kementan akan menjalankan sejumlah agenda pertanian nasional, antara lain rehabilitasi jaringan irigasi, bantuan benih, bantuan pupuk, dan bantuan alat mesin pertanian (alsintan). Dalam beberapa kesempatan, pemerintah secara gamblang menjelaskan bahwa kucuran anggaran yang besar dan sejumlah program pembangunan sector pertanian tersebut diarahkan untuk mengejar target swasembada pangan dalam kurun waktu 3 tahun.

Hapus Impor

Pada 9 Juli 2015, Jokowi menegaskan akan mengejar target swasembada pangan secara serius dan konsisten. Ia juga menegaskan akan menghapus impor pangan yang kini membengkak hingga Rp230 Triliun. Pemerintah sendiri memang telah menyiapkan Perpres 71 Tahun 2015 tentang penetapan dan penyimpanan harga kebutuhan pokok dan barang penting untuk mengendalikan sengkarut harga pangan nasional, yang beberapa waktu lalu sempat mengganggu stablitas perekonomian. Rencananya, Perpres tersebut akan rampung pada bulan Oktober tahun ini.

Dalam Perpres tersebut, ada 14 jenis barang kebutuhan pokok yang terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama merupakan barang hasil pertanian, yakni beras, kedelai bahan baku, tempe, cabai, dan bawang merah. Yang kedua, barang kebutuhan pokok hasil industri meliputi gula, minyak goreng, dan tepung terigu.  Ketiga kebutuhan pokok hasil peternakan/perikanan seperti daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, dan ikan segar.

Dengan demikian, pemerintah akan memiliki instrument jitu untuk mengendalikan harga pangan. Sebab, harus diakui, musuh terberat sektor pangan kita ialah upaya-upaya destruktif para spekulan dan penimbun yang kerap menghantui stabilitas harga pangan nasional, khususnya bahan pokok.

Ironis memang, ketika pemimpin bangsa ini masih main-main dengan urusan kedaulatan pangan. Mengapa? Sebab Indonesia adalah Negara agraris. Sebagian besar penduduknya adalah petani, baik petani sawah maupun lading. Jika saja kita masih tetap mengiyakan tuntutan impor, maka krisis pangan bakal terjadi di negeri yang kaya hasil pertanian ini.

Untuk itu, berbagai strategi harus disiapkan secara matang, termasuk alokasi anggaran yang memadai. Produksi pertanian nasional harus ditingkatkan secara maksimal, teknologi pertanian juga harus terus dikembangkan. Acuh tak acuh dengan urusan kedaulatan pangan adalah bentuk ketidakhadiran negara untuk memajukan sektor pertanian.

Fokus Infrastruktur

Mau tidak mau, pemerintah harus bekerja ekstra untuk mengejar mimpi kedaulatan pangan nasional. Jika masih terus lengah dengan urusan kedaulatan pangan, label Indonesia sebagai negara agraris bakal tetap menjadi slogan belaka. Pembenahan infrastruktur pertanian mutlak dilakukan dalam hitungan jangka pendek. Infratruktur yang berkualitas akan memudahkan petani untuk mengolah sawah, sehingga berimplikasi pada kualitas hasil pertanian.

Jika melihat target pemerintah tahun 2015, produksi padi ditargetkan sebesar 73,4 juta ton gabah kering giling (GKG), jagung ditargetkan 20,33 juta ton, kedelai 1,27 juta ton, gula 2,97 juta ton, dan daging sapi 550 ribu ton. Target ini lebih besar dari target tahun sebelumnya.

Kedaulatan pangan adalah asa sekaligus kebutuhan yang mendesak. Menggantung agenda kedaulatan pangan sama dengan menggantung nasib petani dan pertanian Indonesia. Hal penting lainnya dalam urusan kedaulatan pangan ialah upaya konkrit pemerintah untuk memutus mata rantai ketergantungan petani kepada para spekulan, dengan cara meningkatkan produktivitas pertanian.*

Marsel Gunas

RUU Kamnas: Keamanan Pangan dan Energi

Sejak memasuki tahapan program legislasi nasional (prolegnas), Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional semakin menjadi sorotan publik. Berbagai kontroversi pun mencuat di berbagai ruang diskusi publik dan media massa.

RUU Kamnas: Keamanan Pangan dan Energi


Ada kecurigaan, RUU tersebut diboncengi kepentingan militer. Militer (baca: TNI) disebut-sebut ingin mengembalikan semangat ABRI pada masa orde baru dalam kehidupan demokratis yang tengah menjadi nafas kehidupan politik nasional kini. Perdebatan kembali muncul di tengah publik. Sebagian khawatir, jika RUU itu disahkan, tindakan represif terhadap sipil atas nama keamanan dan ketertiban menjalar, tak dapat dibendung. Benarkah ada kepentingan militer dibalik penggodokan RUU Kamnas?

RUU keamanan nasional telah diusulkan sejak era kepemimpinan Presiden Gus Dur. Tak seperti RUU lainnya yang secara cepat masuk proses legislasi nasional, pembahasan RUU Kamnas dihentikan karena sebagian besar anggota DPR, kala itu menolak untuk dilanjutkannya pembahasan RUU Kamnas di DPR. DPR pun mengembalikan naskah RUU tersebut ke eksekutif, dengan beberapa rekomendasi yang bertujuan agar beberapa pasal dalam RUU tersebut diubah.

Selain karena penilaian ketidakjelasan penjabaran term dalam RUU Kamnas, DPR juga mengingatkan adanya tendensi kembali mendominasinya peran militer (baca: TNI) jika UU tersebut disahkan. Praktis, RUU tersebut dinilai diboncengi kepentingan militer untuk kembali melakonkan peran seperti pada era kepemimpinan Presiden Soeharto: represif dan anti demokrasi. Penolakan terhadap pengesahan RUU Kamnas juga dilatarbelakangi dugaan bahwa pihak TNI akan mengambil peran kepolisian dalam mengelola keamanan nasional.

Dalam perkembangannya, pemerintah pun mengembalikan naskah RUU tersebut kepada DPR tanpa diubah bentuk aslinya. Kontroversi pun mencuat. DPR terbelah menjadi dua kubu, ada yang menerima RUU tersebut dan mendesak agar segera disahkan, ada juga yang menolak-dengan argumentasi yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya.

Kontroversi tanggapan terhadap RUU Kamnas ini juga memantik perbedaan opini di kalangan publik. Apalagi, secara terang benderang, pihak Polri telah menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pengesahan RUU Kamnas tersebut. Polri, kala dipimpin Timur Pradopo, mengungkap signal adanya agenda siluman TNI dalam RUU terebut yang akan mematahkan peran Polri dalam hal kemanan dan ketertiban umum.

RUU Kamnas: Hapus Stigma

Sejak kembali dibahasnya RUU Kamnas di DPR, kontroversi pemikiran terkait RUU tersebut semakin meluas. Internal DPR masih belum solid dan satu sikap untuk menjelaskan RUU tersebut kepada publik. Stigma kepentingan militer yang bermain di balik dorongan pengesahan RUU Kamnas tersebut pun semakin menguat.

Parahnya, belum ada langkah jitu dari berbagai stakeholder untuk menghapus stigma negative terhadap TNI itu, yang dapat mempengaruhi kebijakan parlemen untuk segera mengesahkan RUU Kamnas tersebut. Seiring waktu, segelumit persoalan yang erat kaitannya dengan gangguan keamanan nasional menyeruak di beberapa daerah.

Yang bisa dilakukan hanya pengerahan pasukan (baik TNI maupun Polri) untuk mencegah terulangnya peristiwa yang sama. Lebih parah lagi, dalam kontroversi tersebut, ada kesan ego-sektoral dari beberapa lembaga yang berkewenangan terhadap persoalan keamanan dan pertahanan nasional.

Pusat Pengkajian Strategi nasional (PPSN) mencoba membedah kontroversi tersebut secara gamblang. Hadir dalam diskusi tersebut sejumlah narasumber, antara lain; Dr. Dirgo W. Purbo, Prof. Dr. Adrianus Meliala, Letjen TNI (Purn) Johanes Suryo Prabowo, Prof. Dr. Rusadi Kantaprawira, Dr. timbul Siahaan, dan Dr. Conie Rahakundini. Acara tersebut dibuka secara langsung oleh Laksamana TNI (Purn.) Widodo Adi Sutjipto selaku Ketua Dewan Pembina PPSN. [1]

Dalam sambutannya, Menkopolhukam ke-10 itu mengakui, kontroversi RUU Kamnas berkaitan erat dengan perbedaan pandangan publik tentang substansi RUU Kamnas. Sebagian berpandangan, RUU Kamnas akan mengkonfirmasi kekhawatiran publik terkait Pelanggaran HAM, kembalinya otoritarianisme dan menguatnya military sentris dan besarnya tendensi abuse of power.

Selain itu, posisi negara dan militer dianggap sebagai sesuatu yang bersifat superbody, pemerintahan yang bebas dari pengawasan legislative, over rule salah satu pemegang otoritas fungsi kelembagaan atas kelembagaan lain, dan subjektifitas kepala negara dalam mengelola keamanan nasional.

Beberapa fenomena tersebut, menurut Widodo adalah bentuk-bentuk opini publik yang berkembang dalam menafsir roda kepemimpinan Soeharto. Padahal, menurutnya, reformasi ABRI pasca jatuhnya rezim Soeharto telah secara total menghapus segala bentuk dominasi TNI dalam mengelola keamanan dan pertahanan nasional. Letjen TNI (Purn) J. Suryo Prabowo dalam pemaparan materinya menjelaskan terlambatnya realisasi RUU Kamnas disebabkan beberapa faktor.[2]

Pertama, belum terbangunnya akseptabilitas di berbagai kalangan untuk memahmi pentingnya RUU Kamnas. Kedua, konsep yang diajukan pemerintah (melalui Kementerian Pertahanan) terlihat masih belum tajam dan jauh dari sempurna. Suryo Prabowo mebambahkan kondisi tersebut diperparah dengan menguatnya stigma bahwa UU Kamnas yang nantinya akan disahkan ditujukan untuk memperbesar dan memperlua peran dan kewenangan TNI dan sekaligus mereduksi kewenangan Polri.Padahal, lanjut Suryo, substansi RUU Kamnas tidak hanya berkaitan dengan point itu.

Untuk itu, salah satu jalan penting agar kontroversi tersebut tak meluas lagi ialah harus adanya upaya dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat agar menghapus stigma buruk terhadap TNI saat ini. Selama stigma buruk itu tak dihilangkan, pembahasan RUU Kamnas pun akan semakin terganggu, tertunda dan bahkan tak dapat dieksekusi di DPR. Stigma buruk terhadap TNI adalah awal dari kegelisahan publik agar RUU tersebut tidak disahkan oleh DPR. Padahal, urgensi pengesahan RUU Kamnas bukan hanya untuk kepentingan TNI atau Polri, tetapi untuk kepentingan keamanan nasional.

Akibat Ketiadaan UU Kamnas

Gonjang ganjing lahirnya RUU Kamnas semestinya didudukkan pada substansi pertahanan dan keamanan nasional. Menurut Letjen TNI (Purn) J. Suryo Prabowo, ketiadaan UU Kamnas mengakibatkan diskersi kepemimpinan Panglima TNI. Panglima TNI tak jarang mengambil keputusan sendiri dalam menyikapi suatu situasi.

Ia mencontohkan kegiatan SAR saat musibah pesawat Air Asia di awal tahun 2015, MoU TNI dengan Kementerian Perhubungan terkait pengamanan stasiun Kereta Api, pelabuhan laut dan Bandara, dan MoU TNI dengan Jaksa Agung dalam pengamanan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

“Dalam kasus bantuan TNI saat evakuasi Pesawat Air Asia, TNI seharusnya membantu Badan SAR Nasional. Namun, yang terlihat malah sebaliknya. Basarnas yang membantu TNI. MoU dengan Kemenhub dan Kejaksaan Agung juga hanya beralasan karena Lapas, Bandara dan Pelabuhan adalah obyek vital yang bersifat strategis” kata Suryo Prabowo.

Ketiadaan UU Kamnas juga sangat berpengaruh terhadap tumpang tindihnya peran berbagai lembaga mengelola urusan keamanan dan pertahanan negara. TNI dan Polri tak jarang saling berebut peran saat terjadi sebuah situasi yang mengusik keamanan dan ketertiban umum. Dalam kasus penanganan terorisme, misalnya, terjadi tumpang tindih peran yang cukup jelas antara TNI dan Polri dan Pemerintah (eksekutif).

Untuk menangani berbagai aksi terorisme, pemerintah membentuk BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Selain itu, di tubuh Polri, juga dibentuk Densus 88. Sementara, UU juga mengatur tanggung jawab TNI terhadap Operasi Militer Selain Perang (OMSP), terorisme.

“Salah kaprah terhadap kata teror yang hanya diartikan sebagai aksi pengeboman di tempat public membuat tumpang tindih peran itu terjadi. Padahal UU No. 15 Tahun 2003 mendeskripsikan bahwa terror bukan hanya pengeboman saja” tegas Suryo Prabowo.

RUU Kamnas: Pangan, Energi, dan Air

Polemik kepentingan yang membaluti pembahasan RUU Kamnas membuat substansi ketahanan nasional diabaikan dalam pembahasan tersebut. Seolah-olah, RUU Kamnas hanya berkutat dalam hal keamanan dalam konteks gangguan dan ancaman perang, militer, dan terorisme. Padahal, masih ada yang lebih substansial dari sekedar urusan-urusan itu.

Pangan, energi, dan air merupakan tiga kebutuhan esensial manusia. Keamanan nasional semestinya dibaca dalam konsep itu; sejauh mana pertahanan dan keamanan nasional kita mampu menjawab tuntutan terpenuhinya tiga kebutuhan itu. Menjamin rasa aman (dalam arti sosiologis) adalah pincang saat warga negara lapar, ketiadaan bahan pangan, kekurangan supply energi, dan kehilangan sumber air.[3]

Untuk itu, diperlukan kesamaan pemahaman secara utuh untuk mewujukan tiga hal itu. Rusadi Kantaprawira, dalam pemaparannya di PPSN menegaskan bahwa ancaman dan gangguan tidak hanya datang dari luar, melainkan juga dari dalam. Ia mengistilahkan itu sebagai natural disaster. Selain itu, kategori ancaman dan gangguan juga berkaitan dengan kelangkaan bahan-bahan kehidupan esensial yang disebabkan bencana (disaster), kelaparan (famine) dan perang (war). Hal-hal tersebut tercakup dalam pasal 13 huruf i draft RUU Kamnas yang tengah digodok itu.

Rusadi menambahkan dalam konteks mewujudkan ketahanan nasional, fokus negara harus ditujukan pada pemenuhan dua kebutuhan yang amat mendesak yaitu food security dan energi security. Pertimbangan terhadap pemenuhan kebutuhan insani itu harus pula ditunjang oleh pemahaman publik tentang keamanan nasional. Jangan sampai, keamanan nasional hanya berkaitan dengan urusan perang. Pertahanan dan keamanan nasional merupakan sebuah domain penting dalam mewujudkan kepentingan geostrategis.

Kepentingan geostrategis Indonesia tidak hanya berkaitan dengan kepentingan nasional (kepentingan dalam negeri) tetapi juga kepentingan Indonesia di kancah internasional (luar negeri). Di dalam negeri, kepentingan geostrategis berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam atau sumber daya ekonomi demi mewujudkan kedaulatan ekonomi nasional, yang secara spesifik bertujuan untuk mencukupi tiga kebutuhan utama ekonomi nasional; pangan, energi dan air.[4]

Tiga kebutuhan utama tersebut merupakan penyangga utama roda perekonomian nasional. Sebelum lebih jauh mengurusi kebutuhan keluar, negara harus benar-benar mampu memenuhi tiga kebutuhan dalam negerinya, khususnya tiga kebutuhan tersebut.

Disisi lain, kepentingan geostrategis Indonesia yang bersifat keluar mutlak berkaitan dengan pelbagai hal yang dapat menghasilkan keuntungan bagi Indonesia, baik yang bersifat politik, tetapi juga ekonomi. Untuk mewujudkan pemenuhan kebutuhan tersebut, maka diperlukan jaminan keamanan nasional yang benar-benar mampu mengamankan negara untuk mewujudkan kesejahteraan warganya.

Dukungan pertahanan dan keamanan tidak hanya berkaitan dengan sejauh mana Indonesia mampu memenangkan peperangan, tetapi juga berkaitan erat dengan sejauh mana Indonesia mampu mewujudkan kesejahteraan warganya. Sebab, tanpa security (keamanan), tidak akan terwujud prosperity (kesejahteraan). *Marsel Gunas

[1] PPSN merupakan singkatan dari Pusat Pengkajian Strategi Nasional. Sebuah organisasi yang beranggotakan sejumlah purnawirawan TNI. Alamat kantor PPSN terletak di Jl. Patra Kuningan VIII No. 14 Jakarta Selatan. Organisasi ini kerap melakukan kajian terhadap berbagai isu nasional, khususnya yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan nasional, pangan dan energi serta berbagi isu strategis lainya

[2] Letjen TNI (Purn) J. Suryo Prabowo lahir di Semarang, Jawa Tengah pada 15 Juni 1954. Ia tidak hanya dikenal sebagai tokoh militer, tetapi juga seorang politisi. Pada Pilpres 2014 ia aktif dalam tim pemenangan Prabowo-Hatta di Koalisi Merah Putih (KMP). Di dunia militer, ia merupakan mantan Kepala Staf Umum TNI periode 01 April 2011-30 Juni 2012, menggantikan Marsekal Madya (Purn) Daryatmo SIP.
Dalam makalahnya "RUU Keamanan Nasional, Ditinjau dari Perspektif Pertahanan Negara" yang disajikan dalam FGD yang diselenggarakan PPSN di Kuningan, Jakarta, 27/08/2015, ia menjelaskan bahwa kelanjutan pembahasan RUU Kamnas di DPR membutuhkan kesamaan persepsi dan sikap politik anggota DPR terhadap keamanan dan pertahanan nasional

[3] Salah satu alasan yang membuat pembahasan RUU Kamnas di DPR sering terhambat ialah adanya stigma buruk adanya kepentingan militer yang memboncengi RUU tersebut. Menurut Pengamat Militer, Dirgo W Purbo, RUU Kamnas tidak berkaitan dengan urusan kewenangan TNI-Polri semata. RUU Kamnas, katanya, harus dilihat dalam konteks kepentingan geostrategi Indonesia.

[4] Hal yang harus menjadi fokus tinjauan dalam pembahasan RUU Kamnas ialah berkaitan dengan kepentingan negara akan pangan dan energi sebagai kebutuhan utama masyarakat nasional.