Pengertian dan Konflik Agraria

Pengertian Agraria

Pengertian Agraria menurut bahasa adalah Ladang atau Tanaman (bahasa Yunani), sedangkan menurut Istilah Agraria adalah Urusan yang menyangkut Pertanian atau Tanah Pertanian, juga urusan kepemilikan Lahan. dari sini dapat kita lihat Agraria adalah sebuah istilah yang menuju pada Lahan yang biasa di tanam tanaman, apabila kita berbicara Agraria maka kita berbicara Hak Penguasaan atau kepemilikan Lahan termasuk juga di dalamnya adalah Tanaman, bumi, air dan kekayaan alam lainnya.
Sebagai Catatan pembuka perlu di perhatikan agar Anda membaca setiap bagian yang sudah saya buat dari awal agar anda mengerti seperti apa konflik agraria dan bagaimana konflik ini di selesaikan.
saya juga sudah menambahkan dua khasus nyata mengenai agraria di bawah agar dapat memberikan keadaan konflik agraria itu sendiri.

Konflik Agraria

pada Era Pak Jokowi baru menjabat konflik Agraria mulai ramai tersorot media, perkumpulan petani mulai mendemo dan mendesak pemerintah unutk menyelesaikannya. namun apakah Pengertian Konflik Agraria itu?. 

Konflik Agraria adalah pertikaian atau pertentangan yang timbul karena adanya hak yang di langgar pada hak penguasaan atau kepemilikan lahan atau sumberdaya alam yang di lakukan oleh dua Pihak atau lebih. biasanya konflik Agraria ini di alami oleh Masyarakat adat atau petani yang mempertahankan lahan nya dengan Perusahaan yang mengeklem sebuah lahan tersebut.

Konflik Agraria di indonesia terjadi karena Lahan Pertanian Milik Petani yang di rusak oleh perusahaan, namun perusahaan tidak bertanggung jawab. petani melakukan aksi demo dan pemukulan kepada petugas keamanan Perusahaan tersebut, pada akhirnya petani lah yang di tuntut perusahaan dengan tuduhan pengeroyokan kepada Petugas Perusahaan.

Contoh Kronologi Konflik Agraria yang Terjadi di Indonesia

Pengertian dan Konflik Agraria

Konflik Agraria Telukjambe, Karawang dimulai sejak tahun 2012 ketika PT. Pertiwi Lestari (PT PL) yang menggunakan surat Hak Guna Bangunannya memasang plang-plang di lahan yang di garap para petani. Akhir 2013, lahan petani di Dusun Cisadang, Desa Wanajaya dirusak dengan ganti rugi hanya berkisar 2 juta hingga 5 juta rupiah, semua petani menolak dan melawan hingga bentrokan fisik terjadi dan tujuh orang di antaranya ditahan dengan tuduhan pidana pengeroyokan.

Di tahun 2016, pertemuan dengan Menteri Agraria Ferry M. Baldan menghasilkan sebuah janji sertifikasi kepemilikan rumah dan lahan bagi para petani yang telah meninggalinya minimal sepuluh tahun. Pasca reshuffle kabinet, PT PL melakukan kegiatan pemagaran yang dikawal oleh Polres Karawang dan Brimob Polda Jabar dengan alasan PT PL sudah mendapatkan IMB yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Lahan tanaman para petani lagi-lagi dirusak dan intimidasi kerap terjadi. Petani dipaksa menerima uang kerahiman sebesar 30 juta rupiah tanpa memandang seberapa luas lahan atau rumahnya. Pada 11 Oktober 2016, warga yg terus menolak dan melakukan perlawanan, akhirnya bentrok fisik dengan petugas keamanan PT PL. Sore harinya, penyisiran terhadap petani dilakukan oleh ribuan personel Polres dan Brimob. 52 petani laki-laki dibawa ke Polres Karawang, 13 di antaranya (11 laki-laki dewasa dan 2 anak di bawah umur) ditahan. Para petani dipidanakan dengan dalih pengeroyokan sesuai dengan pasal 170 KUHP. Pada 12 Oktober 2016, para petani yang selamat kemudian pergi ke Jakarta mencari perlindungan dan keadilan ke kantor LBH Jakarta, KontraS, dan STN selama satu bulan. Sebulan kemudian, Pemkab Karawang meminta para petani korban konflik untuk pulang dan menjanjikan ketersediaan makanan, pendidikan, kesehatan; namun, janji itu hanya bertahan selama 1,5 bulan dan petani kembali terlantar di Rusunawa Karawang. Sementara, mereka juga menyaksikan rumah tinggal dihancurkan oleh PT PL.

Pengertian dan Konflik Agraria

Pada Maret 2017, para petani melakukan aksi long march dari Karawang menuju Jakarta untuk kembali melakukan aksi dan mencari keadilan serta merebut haknya lagi. Setelah beberapa kali aksi di depan Gedung MPR/DPR RI dan Istana Negara, termasuk Aksi Kubur Diri, saat ini para petani telah dipulangkan ke Karawang. Mereka ditempatkan di Rumah Dinas Bupati untuk sementara waktu sembari menunggu hasil keputusan pemerintah mengenai ganti rugi rumah dan lahan pertanian mereka. 

Konflik ke Dua

Pertama; Sejak dari tahun 1974, petani yang tinggal di Desa Pagar Dewa dan Sumber Mulya telah mengelola lahan seluas 1.414 hektar untuk ditanami padi dan jenis tanaman palawija. Di atas tanah tersebut juga terdapat pemakaman umum warga, yang membuktikan bahwa leluhur mereka telah bermukim lama dan secara turun temurun menetap di atas lahan tersebut.

Kedua; Pada tahun 1983, PTPN VII memaksa petani menyerahkan lahan seluas 1.414 hektar yang telah dikelola tersebut. Peristiwa ini telah memunculkan konflik agraria yang berkepanjangan dan berdampak secara langsung terhadap kehidupan ekonomi, sosial, ekologi dan budaya masyarakat yang tinggal di 2 desa tersebut. Jumlahnya kira-kira 700 Kepala Keluarga (KK).

Ketiga; Pasca kejadian tersebut, warga 2 desa yang terdampak melakukan perjuangan dengan beragam cara. Seperti mengadukannya kepada pemerintah kabupaten, propinsi dan pemerintah pusat. Namun cara-cara yang ditempuh tetap tidak membuahkan hasil yang baik, dan hingga saat ini lahan tersebut tetap dikuasai oleh PTPN VII.

Keempat; Mengingat tidak adanya penyelesaian atas kasus perampasan tanah itu, pada bulan Desember tahun 2012, warga mereklaiming lahan tersebut. Namun tindakan reklaiming yang dilakukan mengakibatkan 2 orang warga (petani) dikriminalisasi oleh Negara dengan tuduhan telah merusak perkebunan PTPN VII, dan selanjutnya dipenjara selama 2 tahun.

Kelima; Tahun 2014, 2 orang warga (petani) yang dikriminalisasi tersebut telah bebas. Namun lahan tetap dikuasai oleh PTPN VII. Atas dasar tidak adanya itikad yang baik dari PTPN VII untuk menyelesaikan konflik agraria yang terjadi, selanjutnya pada tanggal 4 agustus 2015, warga kembali turun ke lahan untuk aksi reklaiming.

Keenam; Saat aksi reklaiming dilakukan, sekitar pukul 12.00 WIB, warga yang telah tiba dahulu di lahan dengan jumlah 30 orang dihadapkan dengan 40 preman bayaran PTPN VII. Terjadi perdebatan antara warga dan preman PTPN VII. Bunyi perdebatan tersebut adalah “apo gawe kamu disini, ini tanah perusahaan, mereka punyo hak dan ado izin, sementaro kamu dak katek surat(preman perusahaan) – dak usah nak bedebat, dak penting bedebat dengan kamu, kamu tu wong yg dibayar oleh perusahaan dan dak pacak nak ngambek keputusan. kamu begawe lah dan nerimo gaji, kami mengambil hak kami, jadi jangan halangi kami, kami nak ambek hak kami (petani)” “Buat apa kalian disini, ini tanah perusahaan, mereka punya hak dan izin, sementara kalian tidak punya surat (preman perusahaan) – Tidak usah berdebat, tidak penting berdebat dengan kalian, kalian orang yang dibayar perusahaan dan tidak bisa mengambil keputusan. Kalian kerja lah dan terima gaji, kami mau mengambil hak kami, jadi jangan halangi kami, kami mau mengambil hak kami (petani)”.

Ketujuh; Pukul 13.00 WIB, sebagian warga yang lain tiba dilahan. Selanjutnya warga bersama Rismaludin mendekati pohon karet yang akan direklaiming. Warga berencana memasang plang di sekitar lahan yang akan direklaiming

Kedelapan; Pada pukul 14.00, Asisten Manajer PTPN VII bersama para preman yang lainnya tiba dilahan konflik dan kemudian langsung memerintahkan untuk membubarkan aksi reklaiming dan menangkap Rismaludin. Selanjutnya terjadi bentrokan fisik antara preman PTPN VII dan warga. Rismaludin terkepung dan dipukuli secara membabi buta oleh pimpinan preman perusahaan yang bernama Ketut dan Gondrong dengan menggunakan pisau lipat dan benda tumpul. Akibat penganiayaan ini bagian kepala Rismaludin mengalami luka bocor.

Kesembilan; Pukul 14.30 WIB, Asisten Manajer PTPN VII membawa Rismaludin secara paksa ke dalam mobil yang di kawal puluhan preman. Di pihak lain, warga juga mengalami luka-luka akibat bentrokan yang terjadi. Selanjutnya warga kembali ke desa untuk menginformasikan kepada warga yang lainnya apa yang sudah terjadi di lahan.

Kesepuluh; Pukul 15.00 WIB, Rismanadi (kakak Rismaludin ) mendatangi camp PTPN VII yang terletak tidak jauh dari perkampungan. Dia ingin mencari tahu perkembangan atas peristiwa yang menimpa Rismaludin, adiknya.

Kesebelas; Manajer PTPN VII menginformasikan kepada Rismanadi bahwa Rismaludin telah dibawa ke POLRES Muara Enim, dengan tuduhan telah merusak barang milik PTPN VII.

Pada intinya Konflik agraria ini adalah konflik melawan ketidak adilan perusahaan yang sudah merusak namun tidak bertanggung jawab, rakyat yang tertindas melawan Perusahaan atau Orang yang memiliki wewenang. semoga Hak Para Petani akan kembali ke mereka dan semoga Perusahaan tersebut di hukum seberat-beratnya.

Kerugian Akibat Konflik

Badan Pertanahan Nasional (BPN) menghitung bahwa persoalan konflik agraria telah menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Luas tanah produktif obyek sengketa yang tidak dapat dimanfaatkan atau tidak digunakan secara optimal seluas 607.886 hektar atau seluas 6.078.860.000 m2.

Secara ekonomi, nilai tanah yang menjadi obyek sengketa, jika kita hitung dengan NJOP tanah terendah (Rp.15.000), maka kerugian Negara telah mencapai Rp. 91,1829 Triliun. Nilai tersebut, menurut BPN, jika dihitung dengan mempergunakan rumus periode pembungaan selama 5 tahun dengan tingkat bunga rata-rata pertahun adalah 10 %, maka diperoleh nilai ekonomi tanah yang hilang sebesar Rp.146,804 Triliun.

lahan tanah hilang, rumah, lapangan pekerjaan, tempat sekolah yang sudah hilang belum tergantikan oleh Perusahaan yang bersangkutan.

Jawaban atas Konflik Agraria dan Strategi Penyelesainnya

Untuk itu, dengan melihat fakta kebuntuan penyelesaian konflik agraria di tanah air selama ini, maka Pemerintahan Jokowi-JK perlu segera membentuk sebuah badan/lembaga khusus yang bersifat adhoc untuk menyelesaikan konflik agraria secara menyeluruh. Lembaga ini, agar bersifat mengingat bagi semua pihak/instansi terkait harus di bawah kepemimpinan Presiden secara langsung. Fungsi utama lembaga khusus ini adalah untuk memulihkan hak-hak korban konflik agraria yang telah terjadi di masa lalu dan saat ini, sekaligus untuk mencegah terjadinya konflik agraria di masa yang akan datang.

Penyelesaian yang di lakukan Pak Jokowi adalah Melakukan "Reformasi Agraria" dan "Perhutanan Sosial" yang dua hal tersebut di buat untuk mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan dan meningkatkan akses masyarakat dan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Tujuan : 
  • mengurangi ketimpangan penguasaan dan kepemilikian tanah
  • menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat
  • mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan pekerjaan
  • meningkatkan ketahanan pangan
  • menyelesaikan konflik agraria
TORA (Tanah Objek Agraria) adalah  kawasan hutan negara dan tanah negara berasal dari tanah terlantar.
  • Tora di tunjukkan kepada : 
  • Petani
  • Nelayan
  • Penduduk Belum Pernah Menerima Tanah Negara
9 juta Ha lahan TORA akan didistribusi dan dilegalisi.

demikianlah mengenai Pengertian dan Konflik Agraria, semoga dapat di mengerti dan dapat menambah wawasan pengetahuan apa yang terjadi di lingkungan kita.


EmoticonEmoticon